Temu yang menjadi Candu


Aku suka berlama-lama di dekat jendela. Memandang tempias hujan yang menempel dibalik kaca. Pikiranku menerawang entah pergi kemana.

Sekali-kali ke tempat pertemuan pertama kita di tengah kota. Dengan sedikit rasa sungkan, Aku menyambutmu dengan senyuman hangat hari itu.

Meski kutau senyumku memang tak terlihat karena tertutup masker, begitu juga dengan kamu.

Kita menghabiskan waktu yang cukup lama untuk sekedar bertukar cerita di sebuah kafe bernuansa klasik, sambil sesekali memperhatikan sepasang kekasih yang sedang menikmati hangatnya mentari di taman kota.

Ini adalah pertemuan pertama kita.  Dan kuharap tidak berakhir di sini. Bibirku selalu menyunggingkan senyum entah karena apa, dan aku pikir itu karena kamu.

Selepas pertemuan itu, segala hal tentangmu tiba-tiba menjadi seperti sebuah magnet bagiku, selalu menarik.

Dan kau tahu, hari-hari berikutnya bertemu denganmu menjadi sebuah candu bagiku. Semalam ... sebelum perjumpaan kedua kita, dadaku berdebar tak karuan, ada sesak yang menyeruak di dalam sana. 

Meski berkali-kali kuusap dan kutenangkan, debar itu kian menyesakkan.

Berbalas pesan dengan kamu selalu menjadi hal menyenangkan dalam hari_hariku. Tiap kali kau membalas chat, Aku seperti anak kecil yang terlalu bahagia karena mendapat mainan baru dari orang tuanya.

Kita berjalan beriringan, mengelilingi pusat perbelanjaan di pinggir kota . Dan lagi-lagi aku tak dapat menyembunyikan rasa bahagiaku.  Begitu senang berada di sampingmu.

Namun Pertemuan kita berakhir disudut jalan setelah menikmati makan siang di kedai sederhana pilihanku.

Kau kembali ke kotamu dan aku pulang ke rumahku.

Hari-hari berikutnya kita masih rutin bertukar kabar, setelah aku duluan bertanya tentunya. Sebab kau adalah manusia dingin yang jarang memulai percakapan.

Kadang kita bercanda di kolom chat hingga larut malam. Sesekali saling mengingatkan dan menanyakan hal-hal remeh.

Tapi semakin kesini, sikapmu semakin dingin. Hingga Akupun lupa bagaimana caranya menghangatkan suasana. 

Sepertinya kau sudah mulai bosan dengan pesan-pesan yang kukirim.

Sapaan "Hai, Selamat malam." "Lagi apa?" hanya mengambang di draft pesan tanpa pernah terkirim.

Aku masih bersetia menunggu kabarmu, meski sebenarnya aku tahu, kau juga sedang mengharapkan dan menunggu yang paling di tunggu, dan yang jelas bukan Aku!

.

.

.

WestJava, 120322

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review buku Bob Sadino : Mereka bilang saya gila!

Corn Peeling