Menggapai puncak Gunung Lompobattang #2


Foto : Dok. Pribadi


Tepat pukul 22.35 Saya dan teman-teman tiba di pos 2 dan memutuskan untuk camp di sini mengingat tenaga sudah banyak yang terkuras dan cacing dalam perut pun sudah menari sedari tadi.


Di pos 2 ini sumber air sangat memadai untuk melakukan segala aktivitas termasuk masak memasak.


Begitu sampai langsung cari area camp, Bongkar carriel, pasang tenda, masak, makan, lalu tidur. Demikian agenda yang kurencanakan malam ini. Namun terkadang harapan tak selalu sesuai kenyataan.


Setelah dibantu oleh Darul pasang tenda, Saya membuka ransum yang telah di persiapkan satu malam sebelum berangkat. Rencananya untuk mengurangi sampah, Saya mengemas semua ransum ke dalam wadah tuperware kawe.


Yang pertama kali kuperiksa adalah kotak nasi, karena tak ingin bersusah payah masak di gunung, kuputuskan membawa nasi dari rumah. Tapi ternyata nasinya basi.


Kotak selanjutnya  berisi sayur wortel dan kentang, yang telah kukupas dan tentu telah kucuci dengan air. Keduanya pun ikut mengeluarkan bau tak sedap dan bergetah, tentu sudah tak layak dimasak. Keinginanku untuk menikmati hangatnya sayur sup di ketinggian pupus sudah.


Kulirik kembali ransum yang tersisa, hanya ada beras, mangga, donge-donge(rumput laut), ikan asin dan sebungkus indomie. 


Kawanan indomie seperti telur dan wortel beserta bumbu lainnya telah kusulap menjadi nugget mie, dan ini harapanku satu-satunya semoga bisa bertahan sampai pos terakhir. Saya kembali menggunakan indera pencium untuk memastikan seberapa lama nugget ini akan bertahan, lagi-lagi aromanya mengeluarkan bau yang kurang enak. Mungkin karena semalam kupacking dalam keadaan masih hangat.


Ahh Saya mendengus kesal. Kesal pada diri sendiri tentunya. Tak ada yang bisa kusalahkan, karena semua atas inisiatifku sendiri. Saya merenungi nasibku dalam tenda. Tapi toh tak ada guna, mending masak bahan yang ada saja


Ceklek, kompornya gak mau nyala. Lupa, ternyata kompor portablenya harus dipancing. Saya ke tenda tetangga rencana mau pinjam korek api.


Saat hendak mengambil korek, kulihat Akram sedang memotong kentang. Sedangkan Si gondrong sementara masak nasi.


Saya mengenal akram, bukan di jalur pendakian. sebelumnya sudah pernah ketemu, kebetulan kami satu organisasi. Selain Akram, juga ada Darul, Ihwanul/gonrong, Kak Nice ri dan Kak Komo yang juga merupakan teman teman dari ACT. Sehingga saya memutuskan untuk bergabung dengan mereka. Sedangkan sekitar empat puluhan teman yang lain belum saya kenal. 


"Akram, mau masak apa? Saya bantu ya?" Tanyaku


"Mau rebus indomie Kak Tati, tapi pake sayur." jawabnya singkat.


"Kalau begitu, Aku ikut masak-masak di sini saja, soalnya Saya sendirian." Pintaku


Alasan kedua setelah sendirian adalah karena ransum saya nyaris habis, padahal ini baru malam pertama di jalur.


"Ya udah gak apa-apa gabung di sini saja."


Sambil nunggu nasinya matang, Saya bantu Akram potong kentang dan ngiris kol. Ini adalah kali pertama rebus mie campur kentang dan kol, Pokoknya racik aja sesuka hati.


Tetangga tenda yang sebelahnya lagi, Namanya Om Tinus. Tapi teman-teman lebih sering memanggilnya Opa. 


Sedari tadi Opa dan teman-temannya sibuk bakar ikan yang ukurannya lumayan besar. Sebelum makan, Opa tak lupa memberi ikan bakar plus sambel kepada Kami (Saya, Akram, Gondrong dan Darul) Opa juga menawarkan nasi. Dengan senyum tersipu malu, kuterima pemberian tersebut diiringi ucapan terima kasih. 


"Hehe Kapan lagi bisa makan ikan bakar di gunung."


Berselang beberapa menit kemudian, Kami pun menyusul makan.


Selepas makan, masuk tenda dan istirahat. Kupanjatkan do'a kemudian kutarik sleeping bag hingga menutup seluruh bagian tubuh, hanya muka yang tak tertutupi.


Tidur seorang diri dalam tenda membuatku sedikit takut. Tapi bukankah Saya dikelilingi banyak tenda yang lain. 


Saya sedikit membenci malam saat di gunung, karena biasanya akan terasa lebih lama.


***


"Fiersa besari ..." Terdengar suara teriakan yang entah dari mana.


Tapi kok ada yang meneriakkan nama Bung Fiersa? mungkin hanya mimpi, pikirku.


"Fiersa besari ..." suara itu kembali terdengar. 


Kalau baca buku biasa aja dong, tidak usah berteriak. Mengganggu lelapku. Saya berceloteh dalam hati.


"Eh ... eh... bantu dulu Om ee." Suara lain terdengar dari seberang sana, Saya kembali membuka mata mencoba menerawang apa yang terjadi di luar tenda.


Rasa penasaran membawaku keluar, kulihat beberapa teman berkerumun. Ternyata salah satu teman yang dari wajo (kalau tidak salah) dirasuki mahluk halus.


"... Kapan terakhir kali Kamu menangis? ..."


" Aku orang Islam, tapi suka memakai aksesoris yang bertanda salib." 


Degg seketika Saya langsung kaget, mengingat tadi di jalan ada teman yang menegur gantungan kunci di tasku. Katanya bentuk salib, padahal Saya menganggapnya biasa saja karena hanya bendera inggris yang di bawahnya ada  seorang prajurit berdiri tegap.


Beberapa percakapan lainnya Saya lupa. Di depan sana, sudah ada Darul yang mencoba berdamai dan meminta maaf atas kegaduhan teman-teman selama di hutan, pun meminta agar si mahluk halus tersebut keluar dari tubuh teman Kami mengingat malam sudah larut.


Seketika teman yang tadi berteriak, tubuhnya ambruk ke tanah.


Saya kembali merapal do'a dan memaksa mata terpejam, semoga tak ada lagi kejadian serupa. Suasana hening.

.

.

.

#Storypejalan#myjourney #journey7471 #Bukanpendaki

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review buku Bob Sadino : Mereka bilang saya gila!

Temu yang menjadi Candu

Corn Peeling