Menggapai Puncak Gunung Lompobattang 4

 

Dok. Pribadi
Sumber Foto : Dok. Pribadi

(Lanjutan)

Segala upaya telah kami lakukan untuk memulihkan kondisi Tasya. Berselang beberapa jam ia mulai merasa lebih baik, suhu tubuhnya kembali normal.


Senja berganti ungu, sesekali membalikkan badan. Mencuri waktu menyaksikan bagaskara terbenam.


Suasana malam mencekam. Angin bertiup sangat kencang, seolah ingin membawa tenda dan flysheet kami terbang.


Tak ada aktivitas di luar tenda. Hanya desiran angin yang terdengar. Malam ini akan terasa lebih panjang dari malam biasanya.


Saat terbangun, mentari sudah beranjak naik. Masih kusaksikan  kerlap kerlip lampu kota yang semalam tak sempat kunikmati. di bawah jingga, ada laut membentang yang menambah keeksotisan panorama alam.


Kembali ke tenda dan berbenah, siap-siap menuju puncak. Di jalur menuju puncak inilah kutemukan tanjakan terekstrim selama pendakian. Memanjat batu berukuran besar yang berdiri gagah. Di sela-sela bebatuan tersebut, hanya cukup satu kaki untuk berpijak. Tak ada akar atau ranting pohon untuk berpegangan, hanya mengandalkan uluran tangan teman yang lebih dahulu sampai di atas.


Setelah melewati jalur yang mematikan ini, baru teringat ada teman yang nitip salam. Lupa bawa pulpen, hape, dan slayer yang hendak kugunakan untuk berfoto ria di atas puncak. Tapi jalur tak  memungkinkan  untuk kembali dan mengambil barang-barang tersebut.


Saya mendongak, memandang langit biru. Cahaya matahari pagi terasa hangat, awan-awan putih berarak.


Teman bergantian mengambil potret, duduk manis di atas triangulasi sambil memegang papan kecil bertuliskan MT Lompobattang 2874 MDPL. Saya pun tak mau ketinggalan, ikut mengantri di samping mereka.


Tak puas mengambil potret diri hanya pada satu titik membuatku berpindah dan terus bergeser ke tempat yang lain.


Sebuah maha karya Tuhan yang luar biasa. Hamparan hijau sejauh mata memandang, terpampang hutan lebat dengan selimut kabut di bawah sana.


Ritual futu-futu telah usai, photo sendiri, photo komunitas dan photo pendakian bersama sudah tersimpan rapi dalam hape masing-masing. Saatnya kembali ke pos sembilan mengisi kampung tengah.


Semua ransum harus di habiskan untuk mengurangi beban. Ku lihat rumput laut dan ikan pallu ce'la dalam taperwere masih segar, segera kuparut mangga untuk melengkapi lauk andalanku tersebut. Akhirnya bisa menikmatinya di atas ketinggian.


Tak lupa kuracik bumbu dan sayur untuk menggoreng bakwan, jika tak bisa di habiskan sekarang akan Saya bawa untuk bekal di jalur.


Kampung tengah sudah aman, saatnya packing lalu pulang. Lagi-lagi Saya tak sabar menunggu teman yang belum selesai makan, akhirnya turun duluan. 


"Mau jalan santai." kataku. Sebenarnya itu bukan alasan, hanya ego yang belum mampu kuredam hingga saat ini.


===


Pilihlah teman jalan yang tak akan meninggalkanmu selama di jalur pendakian, sebab tak semua orang bisa menuntunmu dan mampu mengalahkan egonya.


Di perjalanan pulang, Saya jalannya sama si Akram. Pertama kali bertemu dengannya saat ada kegiatan di kampung binaan MRI Gowa, Borongbulo. 


Di jalur, kami bercerita tentang banyak hal termasuk agenda kemanusiaan. Juga saling berbagi cerita tentang pengalaman perjalanan di setiap gunung yang pernah kami datangi. Akram bercerita tentang kenekatannya mendaki gunung di Jawa dengan perlengkapan dan peralatan seadanya tanpa memperhatikan keamanan, tapi akhirnya bisa tembus puncak. Pun bercerita tentang temannya yang mendaki dan membawa galon 19L dalam carriel, terdengar sedikit gila memang tapi bukankah manusia tak mampu bertahan hidup tanpa air?


Saya suka bertemu dengan orang baru dan hal-hal baru karena dengannya saya akan mendapatkan cerita dan pengalaman baru.


Sesekali saya harus berhenti di jalur, meneguk air putih yang ada di tumbler untuk menghilangkan dahaga. Setiap perjalanan, kami memang selalu lebih mementingkan air dari pada cemilan atau makanan meski harus nenteng jergen lima liter dari pos sembilan hingga ke pos dua.


Dengan sisa tenaga yang kumiliki, kami berjalan perlahan sedikit demi sedikit, mendahulukan pendaki lain yang meluncur ke bawah seperti berjalan tanpa rem.


"Biar pelan yang penting selamat."


Melintasi kebun warga, kami bertemu stroberry hutan yang sudah berwarna merah merona. Tanpa permisi, langsung petik lalu makan untuk pengganjal perut.


Sore hari, kami tiba di basecamp pendakian dengan selamat. Memberi tanda centang pada nama masing-masih yang kemarin kami tuliskan saat registrasi sebagai tanda bukti bahwa kami telah kembali. 


End

.

.

.

Tanggal cantik, 12/12/19



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review buku Bob Sadino : Mereka bilang saya gila!

Temu yang menjadi Candu

Corn Peeling