Menggapai Puncak Gunung Lompobattang 3

 

Foto : Dok. Pribadi

(Lanjutan)

Nuansa pagi masih sepi, semua teman masih lelap dalam tenda masing-masing. Dingin yang menembus pori-pori kulit membuatku enggan melepas sleeping bag. Kubuka tenda, sang surya telah muncul. Telat, kewajibanku belum kutunaikan.


Kulawan angin gunung yang menyelusup ke dalam sweater, menahan dinginnya air, seperti baru keluar dari freezer. Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit, kewajiban selesai. Legah, meski subuhnya kesiangan.


"Selamat pagi." 


Kudengar beberapa orang mengucapkan kata itu, tak mau kalah, akupun keluar dan menyapa teman yang sudah berdiri di dekat tenda. Katanya perbanyak aktivitas supaya dinginnya tidak terasa.


Pagi ini, aku kembali ke tenda sebelah. Memasak. Kami berempat bagi tugas, Darul cuci peralatan yang semalam langsung ditinggal setelah makan, Gondrong bagian masak nasi, sekalian belajar katanya. Sedangkan saya dan Akram bertugas masak indomie dan goreng nugget.


Sambil memasak, sesekali Saya tertawa kecil menyaksikan teman-teman main games. Sangat antusias menyelesaikan misi melepas tali rapiah yang terikat menyilang pada tangan. Gerakannya ada yang terlihat romantis, ada pula yang terlihat seperti orang berdansa, berputar membalikkan badan.


Berkali-kali PJ games memanggil Namaku, supaya ikut bermain mewakili kelompok Dare'. Tapi rasanya belum punya keinginan bergabung sebelum mengisi perut, meski sebenarnya games yang di mainkan bukan untuk adu kekuatan. Hanya di suruh melepas tali rapiah tanpa memutus atau melepas ikatan. 


Beberapa teman yang lain terlihat santai, menyesap kopi panas yang diracik sendiri. Membawa aliran hangat hingga ke perutnya.


Setelah santap pagi, Saya akhirnya ikut main games dan alhamdulillah tidak menang. Kembali packing lalu siap berangkat melanjutkan perjalanan.


===


Setelah membagi tim dan berdo'a, Kami mulai trekking dan meninggalkan pos dua. Jalurnya masih aman, punggung pun terasa enteng karena beban yang kemarin kupanggul, hari ini pindah ke bahu yang lain. Katanya gak tega aja liat Kami (cewek) bawa beban sendiri. Padahal sebenarnya Saya ingin membuktikan, sanggupkah Saya bawa beban hingga ke puncak?


Jalur pendakian gunung Lompobattang terdiri dari sembilan pos, dan ini baru melewati pos dua. Haddeuh berapa lama kaki ini akan melangkah untuk menggapai puncak, sanggupkah kaki bertengger di pos terakhir sebelum gelap menyapa?


Coba aja dulu, jalan pelan tak mengapa. Hanya saja perlu mengurangi istirahat terlalu lama untuk menghindari ketiduran di jalur.


Melangkah beberapa meter kemudian berhenti mengatur nafas, menunggu hingga detak jantung kembali normal. Itulah yang ku lakukan selama di jalur. Kalau capek ya istirahat, jangan dipaksakan. Kadang harus duduk selonjoran memulihkan tenaga, dan mempersilahkan pendaki lain lewat.


Pos tiga telah kulewati, sebagian pendaki berjalan mendahului, sebagiannya lagi masih di belakang. Kini tinggallah berempat di jalur. Kak Siska, Tasya bukan Wilona, Saya, dan satu orang laki-laki yang belum kuketahui siapa Namanya. Dan saya berjalan di posisi paling belakang.


Baru berjalan sekian langkah, telingaku menangkap suara. Seperti suara perempuan. Tapi, Saya lihat ke depan Tasya dan Kak siska sedang asyik ngobrol. Nurul dan caramel masih jauh di belakang, lantas suara siapa? Dalam pendakian ini cewek hanya lima orang.


Semakin kuabaikan, suara itu semakin jelas. Asalnya bukan dari jalur namun terdengar dari semak belukar. Saya mempercepat langkah.


"Kak Siska!" teriakku.


"Iya, kenapa?" jawabnya sambil membalikkan badan.


"Coba berhenti, pasang telinga, dengar suara Perempuan tidak?" tanyaku, coba memastikan.


"Tidak ada." Jawabannya semakin menambah ketakutan pada diriku.


Di depan sana ada duo gondrong, ketika mendapati Mereka sedang istirahat, Saya pun ikut berhenti dan memasang telinga kembali. Tanpa memberitahu, Saya memasang muka bingung dan penasaran. Sebelum Mereka beranjak, kaki ini langsung jalan dan mendahului Mereka. Mencoba lupakan kejadian tadi.


===


Terus berjalan melewati setiap pos dan tak lupa mengambil gambar sebagai tanda bukti, sebab mengambil gambar di tempat yang sama tapi waktu yang berbeda, maka jelas hasilnya akan beda pula.


Dari pos empat, Saya mulai beradaptasi dengan teman-teman pendaki yang lain. Bahkan sering kali canda  menghiasi perjalanan Kami. Mulai jujur, mengatakan tak mau lanjut trekking sebelum ada sesi futu-futu.


Pos sembilan masih jauh, sementara persiapan air sudah menipis. Di tengah dahaga Kami belajar berbagi.


Tepat pukul 15.12 waktu setempat, Saya dan sebagian teman-teman mendarat di pos tujuh. Dari sini, terlihat jelas puncak pegunungan gunung Lompobattang.


Tapi menggapai puncak tak semudah membalikkan telapak tangan ferguso! Harus melewati jurang dan memanjat tebing yang mempertaruhkan nyawa. Kaki salah berpijak atau pegangan tangan kurang tepat, jatuh ke jurang akibatnya.


Halimun berarak mengelilingi gunung, sedikit menambah keindahan background potret Kami. Perlahan lelahku menghilang, menyaksikan hamparan pepohonan hijau yang menyegarkan pandangan.


Mendaki dan berjalan di bibir jurang. Ya begitulah ... untuk sampai ke puncak harus melewati jalur ekstrim. Namun terkadang yang dilihat orang bukan proses tapi hasilnya.


Mentari berangsur menghilang, meninggalkan jingga yang elok. Puluhan mata memandang berharap keindahan itu kembali esok. Menikmati sunset di gunung memang sedikit lebih menyenangkan di banding tempat lain.


Hawa dingin merangkul erat, menyelinap masuk lewat jari-jari tangan, menembus hingga ke tulang. Angin kencang disertai kabut menerpa Kami. 


Belum sempat mendirikan tenda sebagai tempat berlindung, Tasya bukan wilona sudah menggigil hebat, nyaris kehilangan kesadaran. Sepertinya terserang gejala hypo. Suasana pos 9 kembali tegang.

.

.

.

Terima kasih sudah mampir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review buku Bob Sadino : Mereka bilang saya gila!

Temu yang menjadi Candu

Corn Peeling