Menggapai Puncak Gunung Lompobattang 1



Aku hanya pejalan kaki, yang selalu berusaha menguatkan Diri bahwa di depan sana, ada hal lebih indah yang menanti.


Pagi ini, setelah bersalaman dan mohon pamit dengan Emak, kulangkahkan kaki dan memacu kendaraan roda dua membelah jalan yang terlihat sepi, padahal hari masih pagi, jarum jam baru menunjukkan angka delapan.


Wajar saja, warga di kampung yang mayoritas adalah petani sudah mulai bekerja di ladang. Kemarin, hujan mulai mengguyur seluruh sudut kampung, membuat Mereka berlomba bercocok tanam.


Perjalanan hari ini membawaku ke sebuah taman, titik kumpul yang semalam kutentukan bersama teman-teman yang akan melakukan pendakian ke puncak pegunungan Lompobattang, sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Gowa, Sulawesi-Selatan.


Tak butuh waktu lama, berselang satu jam kemudian, Aku sampai di taman kota. Duduk manis menunggu teman yang berangkat dari arah Makassar.


Sebenarnya tidak terlalu suka menunggu, tapi karna ini pendakian bersama, jalan pun harus sama-sama.


Setelah semuanya datang dan lengkap, perjalanan pun dimulai. Tapi baru beberapa menit kendaraan melaju, adzan sudah berkumandang di beberapa masjid, sebagai tanda telah masuk waktu sholat jum'at untuk kaum laki-laki.


Saat yang lain melaksanakan kewajibannya, Aku beserta dua orang perempuan yang duduk di bawah menara Masjid bertugas menjaga barang bawaan.


Selepas Jum'atan, Kami kembali memacu roda dua. Menyusuri jalan yang mulai terlihat padat oleh kendaraan, sebab jam segini adalah waktu istirahat para pekerja.


Melintas di Kota Takalar membuat otakku kembali memutar kenangan beberapa tahun silam. Dulu, betapa sering Aku mendatangi Kota ini. Kadang sekedar datang untuk menikmati kuliner, atau sengaja berkunjung ke rumah rekan kerja. 


Gelak tawa ria merekah, betapa indah hari yang kulalui bersama Mereka. Kini ... Semua hanya tinggal kenangan yang entah kapan bisa terulang?


Suara klakson kendaraan membuyarkan lamunanku, pandangan kembali fokus ke jalan di hadapanku. Dalam perjalanan ini, Aku berboncengan dengan seseorang yang belakangan ku ketahui namanya adalah Si Botak.


Memasuki wilayah "Butta toa" Suasana jalan lengang, hanya satu atau dua kendaraan yang melintas. Membuat Si Botak lebih leluasa menarik gas dan menguasai jalan. Sebenarnya agak sedikit risih dengan berkendara seperti ini terlebih karena Aku tidak menggunakan helm. Bukan tak punya, hanya saja penutup kepala yang tadi kugunakan, diserahkan ke Botak karena Dialah yang mengemudi, rasanya agak keliru jika Aku yang memakainya sementara posisiku dibonceng.


Hanya ada suara deru mesin kendaraan yang memekakakkan telinga. Tak ada tegur sapa, mulutku sibuk merapal do'a. Berbagai kemungkinan muncul di benakku, takut jika seandainya ada kendaraan lain yang tiba tiba menerobos dan menyerempet, atau... atau...? ahh tidak!


Oh Tuhan ... Aku bukan Lady aspal, juga bukan Lady Gaga. Aku takut dengan kecepatan tinggi.


Sembari berdo'a, tanganku tiada henti menarik tali carriel yang kupanggul di punggung. Tetap siaga jika sewaktu-waktu kehilangan keseimbangan dan carriel menarikku kebelakang.


"Ahh kenapa pula Jeneponto sepanjang ini? membuatku berlama-lama di atas kendaraan." Gerutuku dalam hati.


Sebisa mungkin Aku menyembunyikan raut wajah yang tegang, jika Si Botak melihat ekspresiku bisa-bisa dia akan menertawakan dan meledekku di jalur pendakian.


***


Menjelang sore, Aku dan teman-teman tiba di base camp pendakian gunung Lompobattang. Istirahat sambil menunggu rombongan dari daerah lain yang sementara di jalan.


Supaya tidak terbuang dengan percuma, waktunya digunakan untuk berkenalan. setidaknya jika belum hafal nama, bisa kenal muka dulu. Mengingat peserta pendakian datang dari berbagai daerah di Sulawesi-selatan.


Jarum jam menunjukkan angka delapan, teman-teman pun sudah lengkap. Untuk lebih mudah mengkordinir peserta pendakian, sebelum berangkat harus di bagi perkelompok terlebih dahulu. Jadi dalam satu kelompok ada penanggung jawabnya.


Setelah berdo'a, treking pun dimulai. Posisi paling depan ada Darul sebagai leader, dan bagian belakang ada Kak Nas selaku  Sweaper. Memastikan tak ada peserta yang tertinggal.


Melewati rumah dan kebun warga, gonggongan anjing menyambut perjalanan Kami. 


Malam telah menyapa, Gelap. Kami hanya mengandalkan headlamp sebagai penerang jalan.


Ini baru titik nol pendakian, sedangkan kakiku sudah bergetar dan punggungku terasa sakit, tak kuat menahan beban. Dadaku terasa sesak, kerongkonganku sudah kering, langkahku terhuyung.


"Semoga Aku bisa tetap berjalan dan menyelesaikan pendakian ini." do'aku dalam hati.


"Ayolah Tati, kamu pasti bisa!" aku menyemangati diri sendiri.


Hampir semua teman-teman bawa carriel seperti Aku, namun bedanya Mereka datang dengan berkelompok, tentu perlengkapan dan logistik bisa dibagi kepada masing-masing orang. Sedangkan Aku? Apalah dayaku yang hanya seorang pejalan Solo, tentu perlengkapan, logistik dan ransum harus ku bawa sendiri. Belum lagi bekal air minum yang harus ku tenteng karena saku carriel kiri kanan terisi dengan matras dan tenda, lengkaplah sudah bebanku.


Baru berjalan sekian meter, Aku berhenti mengatur nafas. Menormalkan kembali detak jantung yang berdetak lebih kencang dari biasanya.


Jalurnya tidak terlalu ekstrim, hanya saja dari pos 1 sudah dihantam dengan tanjakan. 


Di jalur, Seorang teman sempat tak sadarkan diri hingga membuat pendaki lain panik. Tapi untung hanya berlangsung sebentar.


Iringan suara musik menambah semangat untuk terus melangkahkan kaki. Sesekali berhenti mengatur nafas.


"Kak tati bagaimana, bisa?" Sweaper berteriak dari belakang.


"Masih bisa Kak." Jawabku dengan nafas terengah.


Tak mengapa berjalan lambat, yang penting konsisten hingga ke puncak. 


Aku terus melangkah, menguatkan diri sendiri. Meskipun pejalan solo tapi Aku tidak merasa sendiri. Di jalur, Saya menemukan banyak teman baru dan hal-hal baru.


Iya, Aku hanya pejalan bukan pendaki. Meskipun Kaki ini pernah menapaki atap sulawesi, bukan berarti diri ini sudah jadi seorang pendaki. Pengetahuanku masih sangat minim bahkan nyaris tidak ada, itulah sebabnya Aku terus ikut berjalan sama Mereka yang sudah mahir, untuk mendapat sedikit demi sedikit ilmu yang Mereka punya.


"Pemenang sejati bukan tentang siapa yang lebih dahulu sampai ke puncak, tapi pemenang sejati adalah Dia yang bisa menunggu temannya dan sama-sama menuju puncak."

.

.

.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review buku Bob Sadino : Mereka bilang saya gila!

Temu yang menjadi Candu

Corn Peeling