Happy Father's Day




Selamat hari Ayah buat yang masih punya  Ayah...


Tahukah Kamu? Cemburu terbesar bagi Kami yang sudah tak punya Ayah adalah melihatmu bergandengan, beriringan, bermain dan bercanda dengan Ayahmu.


Jadi, hargai Dia, temui Dia, dan katakan padanya Kamu sungguh bangga memiliki Ayah sepertinya. Sebelum terlambat!


Dan Terima kasih kepada seluruh Ayah di penjuru semesta karena telah bekerja keras untuk Kami, Anakmu.


=== ====== ==== ===== ====== ===== ===


Masih teringat jelas dalam memori kenanganku, menjelang dini hari Ia pergi secara diam-diam tanpa pamit. Setelah berhasil membuat Kami tertidur Ia 'pulang' tanpa kata.


===


Perlahan kondisinya berangsur membaik setelah tak sadarkan diri beberapa jam lalu, buktinya Ia menyahut saat Aku memanggilnya, pun mulai berbicara pada orang-orang yang duduk di dekatnya.Ia tak lagi menjerit kesakitan seperti pertama kali Aku tiba di rumah. 


Jarum jam menunjukkan pukul 24.01, cacing dalam perut sudah mulai menari, memaksaku harus menyuap makanan meski hati sedang dirundung nestapa.


Selepas makan, Aku kembali duduk di sampingnya. Tangan kiriku mengelus-elus perutnya yang sedari tadi merasakan sakit, sedangkan tangan kananku menggenggam tangan Ayah dengan erat.


"Kak, bacakan surah Yasin di dekatnya." bisikan itu datang dari Adik sepupu yang turut hadir di rumah saat itu.


"Tidak mau!, Ayah kan hanya sakit biasa bukan sekarat!" Ucapku dengan nada sedikit meninggi. Suasana hening, tak ada lagi suara.


Berselang setengah jam, mataku mulai tak bisa menahan kantuk. Kulihat saudara dan tetangga yang datang di rumah malam itu mulai tertidur, kecuali Bapak-bapak yang terjaga di ruang tamu. Mereka terdengar sedang asyik membicarakan kegiatan berkebunnya hari ini.


"Kalian istirahat saja, biar Aku yang jaga." Pinta saudara sepupu yang baru saja bertukar posisi dengan Kakak pertama.


Mengikuti perintahnya, Akupun merebahkan tubuh disampingnya sembari menggenggam tangan Ayah yang sedikit kasar karena Kerja keras.


Selang beberapa jam memejamkan mata, Aku dibangunkan oleh suara saudara sepupu yang memanggil nama Ayah.


"Yah... bangun ki', Ayah ki dengar ja'?


Beberapa kali Ia mengulang kalimat itu tapi Ayah tetap tak merespon. Aku pun mulai panik, ada apa? kenapa Ayah tidak menyahut, mungkin Ia terlalu lelap sampai tak mendengar suaraku.


Aku memegang kakinya, sudah dingin. Kembali kututup dengan selimut supaya kembali hangat.


Di samping kanan terlihat seseorang yang entah siapa meletakkan jarinya di bawah hidung Ayahku lalu menangis histeris. Yang lain memeriksa nadinya, pun ikut menangis.


Mereka bergantian memelukku kemudian berucap lirih "Yang sabar Nak, Ayahmu sudah pergi." Seketika mulutku bungkam, tubuhku lemas, lalu ambruk seperti tertimpa benda berat.


Bulir bening mulai berjatuhan, menganak sungai dipipiku. Tak dapat kuhentikan, terus mengalir sepanjang hari.


"Tidak...! Ayahku belum meninggal, Ia hanya tertidur." Teriakku dengan suara lantang.


"Tidak...! Jangan ambil Ayahku, sebentar lagi Ia akan bangun!"


Tapi orang-orang tidak percaya padaku, Mereka mengangkat tubuh Ayah dari hadapanku lalu memandikannya.


Kulihat ke samping kiri, Kakak pertamaku tak sadarkan diri. Mungkin tak terima kepergian Ayah atau ada sedikit penyesalan dihatinya.


Di sudut rumah yang lain, Kakak ketiga pun dikerumuni beberapa Orang. Napasnya tersengal tapi mulutnya masih berteriak memanggil Ayah.


Sedangkan Kakak kedua, satu-satunya Kakak perempuanku terlihat sedang memeluk Ibu. Seperti Aku, mungkin Kakak pun tak percaya dengan kepergian Ayah yang begitu tiba-tiba. 


Pagi hari ... Rumah panggung yang terletak hanya beberapa meter dari pinggir jalan poros ini mulai ramai. Keluarga, tetangga, dan orang-orang di kampung ini mulai berdatangan satu persatu. Turut berbela sungkawa atas musibah yang menimpa keluargaku.


Pun teman-teman datang memberi Do'a dan berusaha menguatkanku. Kembali mengingatkan bahwa semua makhluk yang bernyawa pasti akan menemui kematian, ini hanya persoalan waktu. Dan ... Apa yang Kita cintai tak harus di miliki.


Tangisku kembali pecah saat menyaksikan Ibu duduk di samping tubuh Ayah yang terbujur kaku, tatapannya kosong, wajahnya selalu basah dengan air mata. Tak pernah kulihat Ibu sesedih ini.


Waktu terasa berjalan lebih cepat, Mereka memintaku bergeser dari dekat Ayah.Mereka akan melaksanakan kewajibannya, memandikan, mengkafani, mensholatkan, lalu membawa Ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya.


Suasana rumah kembali riuh dengan isak tangis keluarga. Kulihat keponakan kecilku meronta memanggil kakeknya. Sedangkan Aku ... Aku mencoba berdiri, berniat mengantar Ayah sampai pemakaman tapi belum sampai di ambang pintu, kakiku lemas tak bisa berjalan lagi. Mereka memapah Diriku, kembali ke dalam rumah.


===


Ibu memohon agar Aku membawanya ke kota saat Aku kembali bekerja, sebab di rumah ini tak ada siapa-siapa lagi yang menemani masa tuanya. Ketiga Saudaraku telah berkeluarga.


Sementara, saudara memintaku supaya resign dari tempat kerja, kembali ke kampung dan mengurus Ibu. 


Aku dilema ... Antara lanjut  atau berhenti bekerja.


Jika lanjut, setidaknya asap di dapur tetap bisa mengepul. Dan kalau berhenti dari mana Aku mendapatkan uang untuk melanjutkan biaya hidup?


Waktu cuti telah habis, dan Aku kembali melanjutkan pekerjaanku selama satu bulan. Dan akhirnya Kuputuskan resign dari perusahaan.


"Untuk apa sekolah tinggimu? Karirmu? Jika masa tua Ayah ibumu kesepian"


===============≠====================


Dear Ayah...

Maaf belum bisa membuatmu bangga,

Maaf jika tak pernah memberi warna dalam hidupmu.


Dear Ayah...

Maaf jika Aku adalah alasan kulitmu menghitam dan tanganmu menjadi kasar. Semoga tiap tetes keringatmu bernilai ibadah di sisiNya.


Dear Ayah... 

Terima kasih sudah menjadi Ayah yang baik.

Terima kasih untuk cinta yang Kau beri, meski tak pernah terucap tapi setiap perlakuanmu adalah bukti cinta.


Dear Ayah...

Kau adalah pahlawan hidupku

Kau adalah pelita hidupku

Kau adalah segalanya bagiku.


Dear Ayah ...

Aku adalah Putri kecilmu yang sudah beranjak dewasa. Dulu Aku adalah Wanita yang kuat tapi kepergianmu membuatku rapuh. Iya, kepergianmu selalu membuat air mataku lebih mudah jatuh.


Aku mencintaimu Ayah, Semoga Tuhan menempatkanmu di taman-taman syurgaNya bersama orang-orang Shaleh. Aamiin.

.

.

.

Biringbulu, 12 November 2019

Komentar

  1. aku juga sama rasanya belum bisa memberikan yang terbaik buat almarhum bapak aku.
    semangat terus mbak

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review buku Bob Sadino : Mereka bilang saya gila!

Temu yang menjadi Candu

Corn Peeling