Pendakian Latimojong via angin angin

.Pendakian bersama 5 puncak Latimojong Atap sulawesi.

Berangkat pada Ahad 31 Maret 2019 dari Makassar sejumlah tujuh orang yaitu : Hajrah, Niss, Indah, Miswar, Chua', Aldi, dan Saya (Tati)
Setelah berdo'a bersama Kami Meninggalkan titik kumpul sekitar jam 11.20 dari jalan perintis kemerdekaan dengan menggunakan kendaraan roda dua, masing-masing berboncengan kecuali Aldi.

Sebelumnya sempat berhenti selama dua kali di jalan karena menunggu si Aldi yang lagi nyari tempat isi ulang gas, dan setelah dapat Kami kembali melanjutkan perjalanan. menyusuri jalan yang mulai padat, macet dan berisik oleh suara kendaraan.

Hampir dua jam di jalan, Kami akhirnya menepikan kendaraan, beristirahat sejenak lalu menjemput Rindy di rumahnya untuk ikut bersama Kami mendaki.

Malam sudah tiba, membuat Kami harus hati-hati berkendara sebab jalan sudah mulai gelap sedangkan lampu utama pada motor tidak berfungsi, hanya mengandalkan lampu jarak jauh yang penerangannya kurang memadai.

Setelah dua belas jam berkendara dan melewati beberapa daerah, Makassar, Maros, Pangkep, Barru, Pare-pare, dan Sidrap akhirnya Kami pun tiba di daerah tujuan, Enrekang. Dari sini Kami harus transit di basecamp karena raga sudah sangat lelah dan mata pun tak kuat lagi menahan kantuk.

Subuh hari, Bang Embun dan Wakwaw tiba dari Masamba, Mereka berdua adalah leader dari Kpa Lpps kompas Lutra sedangkan bang embun sendiri merupakan salah satu owner backpacker gila yang akan mengantarkan Kami menyusuri jalur pendakian menuju Latimojong.

Karena belum ada persiapan logistik sayur dari Makassar, si Hajrah dan Niss lalu ke pasar Baraka untuk membeli perlengkapan yang belum ada sembari menunggu Jeep yang sudah di booking oleh bang Embun.

Tepat pukul sepuluh pagi Kami meninggalkan basecamp dan menuju Desa Latimojong menggunakan mobil jeep. Kebun kopi dan buah salak milik warga bergantian menghiasi pandangan Kami, seolah ingin turun dari jeep lalu memetik sesuka hati. Kondisi jalan yang berbelok dan menanjak dengan kemiringan parah kadang membuat Kami tegang dan takut, sampai sampai Indah pusing dan muntah dari atas jeep.

Jam 12 siang Kami tiba di dusun Angin angin, kampung terakhir di kaki gunung Latimojong. Setelah menurunkan barang barang dari mobil jeep, Kami berjalan beberapa langkah menuju rumah Ambe' Suani. Terlihat dari kejauhan kediaman Ambe' dipenuhi dengan tempelan spanduk pendakian maupun stiker dengan logo komunitas pencinta alam dari berbagai penjuru, lebih dekat lagi ternyata setiap sudut dan dinding rumah Ambe' hampir full dengan tulisan beberapa nama pendaki yang pernah singgah di rumah Ambe'. jika ingin membaca seluruh tulisan tulisan ini mungkin akan butuh waktu berjam-jam.

Rumah Ambe'adalah base camp kedua bagi para pendaki yang mau nanjak via angin-angin atau jalur merah. Karena Kami memilih jalur ini maka Kami pun harus menaati salah satu syarat untuk melanjutkan pendakian yaitu harus bermalam di Dusun angin angin sebelum melanjutkan perjalanan.

Usai melepas carrier yang sedari tadi berada di atas  punggung, Kami lalu berbaring sebentar merebahkan tubuh yang sudah mulai capek padahal perjalanan belum dimulai hehe. Bangun dari tidur sepertinya kampung tengah mulai lapar dan menunggu asupan makanan dari mulut, kali ini Hajrah yang jadi chef untuk masak siang sedangkan Akhwat yang lain ikut membantu mengupas bawang dan lain sebagainya.

Sembari menunggu masakan matang, Ambe' lalu membawakan sesuatu kepada Kami.

"Siapa yang mau kalung & cincing?" Tanya Ambe'

"Saya." Jawab Kami hampir bersamaan.

Namun kalung dengan cincin yang dibawakan oleh Ambe' bukan barang yang terbuat dari emas melainkan didapat dari alam. Kalungnya sebesar biji kemiri namun berduri seperti durian. Karena Saya belum pernah melihat buah seperti itu akhirnya kuberanikan diri bertanya pada teman teman.

"Apa ini?" Tanyaku sambil membolak balik benda kecil yang ada ditangan.

"Buah Kalpataru." Jawab salah seorang teman dengan mantap.

"Buah ini hanya terdapat pada dua Gunung di Sulawesi." tambahnya.

"Trus ini buat apa?" Karena masih penasaran Diri ini kembali mengajukan pertanyaan.

"Mau buat kalung boleh, buat gantungan tas juga boleh." Jawab Aldi sambil memilih buah kalpataru didepannya.

Hmm terus cincinnya terbuat dari rotan (kalau tidak salah) katanya... Ambe' membuatnya pas sambil berjalan menyusuri hutan dan hanya dalam beberapa hitungan menit.(wuih luar biasa memang Ambe')

Sambil memilih cincin yang cocok dengan jemari Kami, Ambe' lalu berdiri didepan Kami dan berpesan : "Cincinnya gak boleh dilepas selama pendakian, pokoknya pakai aja terus."
Spontan Kami meng iyakan perintah Ambe' meski sebenarnya Saya sendiri tak paham dengan fungsi dari cincin yang terlihat sederhana tersebut.

Matahari kembali menyembunyikan cahayanya pertanda malam hampir tiba, tubuh ini harus diistirahatkan lebih cepat dari hari biasanya agar tenaga yang terbuang kembali utuh sebelum melakukan pendakian.

Di dalam kamar, Indah tak ada hentinya bersin bersin dan mengeluh sakit tenggorokan. Waduh sepertinya Dia akan terserang flu berat sementara Saya sendiri tak bawa obat obatan pribadi.

***

Pagi menyapa ... membuat Kami harus menanggalkan sleeping bag dan bersiap siap packing kembali.

Diantara sela-sela packing  bang Embun memanggilku dengan suara agak pelan dan bertanya,

"Dek, Halangan ki?" dengan muka serius.

(Duh bang Em kok bisa tahu yak? )

"Iya bang." Jawabku dengan penuh rasa takut.

Takut jika akhirnya langkahku harus terhenti disini dan disuruh pulang lantaran ada mitos mitos tertentu yang tak membolehkan wanita berhalangan melakukan pendakian.
Takut jika seandainya Saya gagal menginjakkan kaki di atap Sulawesi  ðŸ˜•

Irama jantungku semakin kencang dan tak beraturan, lebih cepat dari biasanya. Berdiri gemetaran sambil menunggu keputusan dari Leader.

Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review buku Bob Sadino : Mereka bilang saya gila!

Temu yang menjadi Candu

Corn Peeling