Bertani, Antara Candu dan Terpaksa

 

Dokpri

    Menjelang pertengahan Agustus, mendung masih menggelayut di atas sana. Hujan belum membasahi bumi dan gerimis masih malu menyapa. Pagiku ... selalu diawali dengan panggilan suara lembut Amma' (Ibu) yang selalu berhasil membangungkanku dari lelap kemudian memaksa menyingkap selimut yang menutupi tubuh.

Kadang, sambil meracau saya berjalan mendekati kamar mandi.

"Ahh Ma'...ini masih terlalu pagi."

Tapi Amma' selalu menjawab dengan suara lembut "Cepatlah Nak, orang-orang sudah berangkat lebih awal dari kita." Iya, meskipun Amma' bukan pekerja kantor tapi ia selalu menghargai waktu dan tak ingin datang telat meskipun itu bekerja di kebun sendiri.

Mata harus bangun lebih cepat dari biasanya. Kaki harus lebih kuat dari biasanya, dan tubuh harus lebih kuat dari biasanya.

Yang biasanya, pagi hari berangkat ke kantor. Sekarang pagi hari harus berangkat ke sawah atau kebun. Yang biasanya berangkat kerja dengan sepeda motor, sekarang harus berjalan kaki puluhan kilometer agar bisa sampai di kebun. yang biasanya tubuh diistirahatkan setelah bekerja, mungkin sekarang waktu istirahat perlu dikurangi.

Hari masih terlalu pagi, tapi orang-orang di kampung sudah berlomba lomba meninggalkan rumahnya menuju kebun, termasuk saya dan Amma'. 

Matahari Pagi berhasil menghangatkan tubuh yang terbalut baju kaos lengan panjang. Kaki terus melangkah mengikuti arah jejak petani lain yang berjalan dengan cepat di depanku.

Area perkebunan terbentang luas, pohon hijau sesekali masih terlihat, bukit bukit yang dipenuhi tanaman jagung bergantian menghiasi pandangan, cukup menyejukkan mata dan membuat lelah semakin berkurang.


Dokpri

Sesekali saya berhenti mengatur napas dan mengeringkan keringat di wajah dengan mengibaskan topi kerucut karet yang ada di kepala.

 "ahh, sesulit ini jadi petani." Gerutuku.

Baru beberapa bulan saja saya sudah mengeluh, bagaimana dengan orang tuaku yang dari dulu sudah jadi petani. Terbayang bagaimana lelahnya mengurus kami berempat, banting tulang agar perut kami bisa terisi, bagaimana perjuangannya mencari uang, menyekolahkan saya--anak bungsunya hingga sarjana dan ujung-ujungnya saya juga malah ikutan jadi petani, padahal ayah dan ibu berharap kehidupan saya bisa lebih baik mereka. 

Tapi apa hendak di kata, ini mungkin sudah menjadi garis takdir untukku. Bukan karena tak berhasil mendapat pekerjaan setelah lulus, sebenarnya pernah merasakan rasanya kerja di kantor selama kurang lebih tiga tahun, hanya saja ... sepeninggal ayah, saya lebih kasihan kepada amma' jika ia harus tinggal sendiri dan mengurus dirinya sendiri.

"Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, berprofesi bagus, jika masa tua ibumu kesepian." kalimat ini selalu terbayang bayang dan mengganggu pikiran saya sehingga lebih memilih hidup di kampung dan bertani daripada hidup di kota dengan gaji tinggi tapi masa tua amma' (ibu)ku kesepian.

Bonus pemandangan di setiap perjalanan : Dokpri

Setelah menikmati sarapan pagi di rumah kebun, saya bergegas menyiapkan peralatan dan perlengkapan bertani yang akan digunakan. meskipun hanya petani, saya selalu safety dalam penggunaan alat supaya terhindar dari hal hal yang dapat membahayakan.

Salah satu yang menjadi candu setelah suguhan pemandangan alam adalah kebersamaan. Di kebun, saya selalu menikmati kebersamaan dengan petani lain yang jarang saya jumpai di tempat lain. Saat waktu sarapan dan makan siang misalnya, meski hanya nasi dan lauk seadanya tapi nikmatnya sangat terasa.

Sengatan panas matahari yang seolah membakar tubuh tetap kunikmati, sambil sesekali menyeka keringat yang bercucuran di dahi hingga ke wajah. Saat merasa sudah tidak sanggup dan butuh istirahat saya menepi, dan mencari tempat berteduh.

namun sialnya. kadang saya tidak menemukan tempat berteduh karena semua pohon sudah di babat habis oleh petani(yang punya kebun) pohon dianggap penghalang pertumbuhan jagung mereka sehingga dengan ganas mereka menghabiskan hampir seluruh pohon yang tumbuh di lahan mereka. 

terkadang saya mau marah tapi entah kepada siapa sebab pohon pohon tersebut ditanam oleh mereka. 

Dokpri
Dokpri. 


So, meski hanya bertani, ada banyak hal yang perlu disyukuri. 

Karena yang menanamlah yang akan memanen. 

Hanya petani yang setia menanam di musim semi dan memanen di musim kemarau.(google)  

Bertani ... Entah menjadi candu karena suguhan pemandangan alam yang begitu eksotis dan mengobati lelah setelah seharian bekerja atau menjadi terpaksa karena tidak ada pekerjaan lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review buku Bob Sadino : Mereka bilang saya gila!

Temu yang menjadi Candu

Corn Peeling