Menjejak atap Sulawesi



Gunung Latimojong, 2019. Itu adalah perjalanan terlama dan terjauh bagi saya yang kala itu masih baru dalam dunia pendakian. Begitu mendapat kabar dari salah satu teman di whatsapp grup, saya langsung japri dan menanyakan beberapa hal, kemudian memutuskan untuk ikut dalam ekspedisi tersebut padahal sebenarnya perlengkapan untuk mendaki belum rampung termasuk sepatu.

Dan salah satu yang diwajibkan dalam pendakian kali ini adalah harus menggunakan sepatu gunung, mengingat gunung yang akan saya jejaki adalah gunung tertinggi di sulawesi selatan. Safety tentu harus diutamakan, apalagi estimasi pendakian kali ini adalah satu pekan.

Oke, mari ikuti cerita perjalanan saya menapaki atap Sulawesi.

Day 1 

Ahad, 31 Maret 2019. 

Waktu tempuh dari rumah menuju titik meeting poin di Makassar sekitar tiga jam perjalanan, maklum saya tinggal di pelosok. Selain karena jaraknya yang cukup jauh saya harus singgah di salah satu toko yang menjual perlengkapan outdoor untuk membeli sepatu gunung.

Setelah bertemu dengan enam orang yang akan menjadi teman selama di jalur  pendakian, kami berangkat meninggalkan kota Makassar sekitar pukul 11.08 Wita. Baru memasuki Sudiang, adzan dzuhur sudah berkumandang, membuat kami menghentikan laju kendaraan dan singgah di salah satu Masjid untuk menunaikan kewajiban. Setelahnya, kami lanjutkan perjalanan menyusuri ruas jalan yang tetap ramai meski hari libur.

Dua jam berikutnya kami memasuki kabupaten Pangkep (Pangkaje'ne Kepulauan) kemudian singgah menjemput salah seorang akhwat yang juga akan ikut dalam pendakian. Tak lupa, mencari warung makan yang murah ceria untuk mengganjal perut yang sedari tadi meminta haknya.

Hingga akhirnya kami meninggalkan kota bandeng/pangkep dengan total delapan orang. Tiga orang ikhwan dan lima akhwat, saya sendiri berboncengan dengan Indah, yang sejak dari Makassar sudah menggantikan saya mengemudikan motor karena belum terlalu hapal jalur di kota.

Kendaraan roda dua kami terus melaju hingga malam menjemput. Untuk sampai ke tempat tujuan, kami harus melewati kurang lebih tujuh kabupaten.

Dalam perjalanan, sering kali kantuk tidak bisa diajak kompromi sehingga beberapa kali harus menepikan kendaraan. Tak jarang Indah harus mengajak saya berbicara supaya tidak mengantuk di boncengan, dan menepuk paha saya ketika tidak menyahut. Beda lagi dengan satu orang teman saya yang saking ngantuknya sudah tidak bisa menggendong carrier.

Perjalanan malam memang sering kali membahayakan, tapi alhamdulillah atas perlindunganNya kami sampai di basecamp pendakian Baraka-Enrekang tepat pukul 24.05 Wita.

Langsung istirahat sembari menunggu Leader dan Sweaper dari LPPS Kompas yang berangkat dari Masamba, Luwu Utara. Kami sudah janjian untuk ketemu di sana.

Day 2

Senin, 01 April 2019.

Subuh hari, saat mentari belum menampakkan sinarnya, mereka berdua tiba di basecamp. Bang Embun dan Riki yang akan mengantarkan kami menelusuri jalur pendakian gunung latimojong.

Saat yang lain sedang packing barang, dua orang akhwat--Hajrah dan Niswah berbelanja keperluan logistik untuk persiapan satu pekan selama di jalur pendakian. Sedangkan Bang Embun mengurus kendaraan yang akan kami sewa hingga ke Desa terakhir juga sekaligus memberitahukan kepada pihak kepolisian setempat bahwa kami akan melakukan pendakian ke gunung Latimojong.

Sekitar pukul 10.00 Wita sebuah mobil jeep berwarna merah tua terparkir di halaman basecamp. Dengan arahan Bang Embun, kami segera menaikkan carrier ke atas mobil, selebihnya sopirlah yang bertugas merapikan dan mengikat carriel carriel tersebut hingga bisa dipastikan tak akan jatuh dan terlepas saat jeep memasuki medan tersulit sekalipun.

Kami tiba di kampung tetakhir--Desa angin-angin tepat saat jam 11.30 Wita dan sebagai persyaratan mendaki ke gunung Latimojong kami diwajibkan bermalam di sini dulu, tidak boleh langsung start. Kami diarahkan ke Basecamp selanjutnya.

Adalah rumah Ambe Suani, salah satu juru kunci pegunungan Latimojong. Sebelum berangkat kami diberi cincin yang terbuat dari rotan dan katanya tak boleh dilepas selama pendakian.

Mobil jeep yang kami tumpangi

Pemandagan Dusun angin-angin dari rumah ambe' Suani

Cincin dari Ambe' Suani


Day 3

Selasa 02 April 2019. 

Kami melanjutkan perjalanan. Meninggalkan Desa angin-angin sekitar pukul 09.00 Wita. Di jalur, saya menemukan stroberry hutan berwarna merah yang berjejer di pinggir jalan. Tanpa permisi saya lalu memetik, memotret, kemudian langsung memakannya. 

Stroberry atau arbei hutan yang kaya akan vitamin ini memang sering kali dimanfaatkan oleh para pendaki untuk mengganjal perut atau sekedar di jadikan cemilan saat sedang menyusuri alam.

Stroberi/arbei hutan


Setelah melewati perkebunan warga, kami mulai memasuki hutan tertutup dan jalur sudah mulai menanjak. Karena jarang  dilewati oleh pendaki, jalur angin angin atau lebih sering disebut jalur merah ini sudah tertutup kembali.

Tiga jam berikutnya, tepat pukul 11.45 Wita kami beristirahat sejenak. Sebenarnya cacing dalam perut mulai menari tapi kondisi jalur tak memungkinkan untuk membongkar logistik dan masak memasak, sehingga kami hanya makan cemilan yang telah disediakan pada daypack masing-masing.

Jalur pendakian (kebun warga)

Mulai masuk hutan


Break


Setelah hampir setengah hari berjalan, kami belum menemukan tanda tanda adanya area camp maupun pos untuk beristirahat. Di jalur, kami pun sempat pasang flysheet karena hujan mulai turun sehingga mengharuskan kami menghentikan langkah. Namun tak berjalan lama hujannya mulai redah.

Saya dan 9 orang teman yang lain pun mulai berjalan kembali, dengan posisi Bang Riki sebagai Leader dan Bang Embun dibelakang sebagai sweaper. Yang lain berjalan di tengah, memastikan diri supaya tidak keluar dan terpisah dari rombongan.

Tepat pukul 04.13 Wita kami tiba di pos 2 dan memutuskan untuk camp di sini. Sebab kata Ambe Suani di sinilah satu satunya pos yang ada sumber airnya. Dan benar saja, hanya beberapa langkah dari tempat kami mendirikan tenda terdapat sungai yang airnya mengalir deras dan begitu jernih, tapi butuh nyali besar untuk menyentuhnya sebab dinginnya seperti es batu.

Sambil menunggu teman-teman yang lain yang masih di jalur, kami membangun tenda terlebih dahulu sebab ransum masih dibelakang sama Bang Embun.

Beberapa meter dari area camp kami, juga terdapat pendaki lain yang camp di pos 2. Sehingga kami tak begitu kesepian.

Malam menjemput, hawa dingin mulai menelusup masuk lewat celah celah jaket yang kami gunakan. Salah satu teman Akhwat'--Indah sudah mulai flu berat dan nafsu makannya pun berkurang, tapi kami tetap memaksa karena bagaimanapun Indah tak boleh kekurangan asupan nutrisi.

Setelah ritual makan malam selesai, kami kembali ke tenda masing-masing. Memulihkan tenaga untuk perjalanan besok pagi.

Day 4

Rabu, 03 April 2019

Kami terbangun saat matahari sudah menembus celah celah pepohonan yang rimbun. Untung saya sedang berhalangan jadi bebas dari tuntutan kewajiban sholat lima waktu. Tapi mendaki bagi wanita yang sedang haid punya tantangan tersendiri, selain karena banyak mitos mitos yang beredar bahwa wanita yang mendaki dalam keadaan haid sering diganggu oleh makhluk halus menjadi kekhawatiran tersendiri bagi saya.

Tapi bukankah Allah selalu bersamaku? Sepanjang jalur bibir saya tidak berhenti merapal dzikir juga saat akan buang air kecil sudah berusaha menjaga agar supaya darah tidak langsung mengotori tanah, pembalut yang sudah dipakai tidak dibuang di hutan.

Setelah sarapan pagi dan bongkar tenda selesai, kami kembali packing, berdoa bersama lalu melanjutkan perjalanan. Masih ada empat puncak yang harus dilewati sebelum menggapai puncak terakhir.
Packing


Kami terus berjalan menyusuri rimba, melewati hutan belantara dengan berbagai jenis trek. Daun daun yang masih basah kadang menjadikan jalur sedikit lebih licin. Sebelum kaki berpijak harus benar benar dipastikan karena jika salah melangkah maka jatuh adalah akibatnya.

Setelah merayap, merangkak, dan beberapa cara lainnya yang harus kami tempuh akhirnya teriakan Bang Riki dari atas sana semakin menambah semangat kami.

"Pos 3, semangat!" Teriakannya terdengar dari jarak beberapa kilometer.

Dan benar saja, setelah mendaki bukit yang curam, kami tiba di tempat terbuka. Sebuah triangulasi berdiri gagah menyambut kedatangan kami.

Puncak Pantealoan 2650 mdpl 
Setelah beristirahat sebentar, kami meraih benda pipih dari Daypack masing-masing, bergantian mengambil gambar sambil menunggu teman lain yang masih di jalur.
Jalur pos 2 menuju pos 3



Pos 3 puncak ke 1


Keringat di tubuh perlahan mengering, dingin sudah mulai terasa, jika tetap diam dan tidak bergerak bisa jadi kami akan ketiduran di jalur. Terpaan angin yang membelai tubuh seolah meninabobokan supaya mata ini terpejam. Dan memang benar, seringkali kami memang ketiduran di jalur karena capek.

Pukul 02.30 saat semua tim sudah berkumpul dan istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Hutan lumut sudah mulai terlihat, hampir seluruh batang dan ranting pohon terbungkus oleh lumut, tanah dan bebatuan pun ditumbuhi oleh lumut. Mata begitu takjub, dalam hati tak berhenti memuji sang pencipta. 
Hutan lumut


Setelah melewati hutan lumut, kami kembali berjalan di hutan terbuka dan sampai di pos 4 pada pukul 15.40 Wita. Antara pos tiga dan pos 4 jalurnya cukup landai, kami menyebutnya bonus.

Dari pos 3 ke pos 4 saya kerap kali hanya berjalan berdua dengan Rindy, tertinggal oleh leader dan teman yang dibelakang kami pun masih sangat jauh. Sehingga kami berada di tengah-tengah, tapi setidaknya masih mendengar suara Bang Riki jika berteriak.

"Rindy, semangat! Kalau capek ngomong ya ... Kita istirahat." Kataku kepada Rindy.

Tapi ia selalu bilang "Tidak apa-apa, masih kuat kok."

Sekali-kali saya menoleh kebelakang, memastikan Rindy berjalan dibelakang saya.

Hari keempat, keegoisan kami mulai diuji. Sifat asli masing-masing mulai nampak. Yang kuat tetap ingin berjalan tanpa memperdulikan temannya yang tertinggal jauh dibelakang, dan saya adalah salah satunya.

Kami mulai terpisah. Barisan paling depan ada Bang Riki, Chua', Rindy sama saya. Bagian tengah ada Miswar, indah dan Niswah. Dan bagian paling belakang ada Hajrah dan Bang Embun. 

Saya tahu kami terpisah karena saat menunggu di pos 4, mereka datangnya tidak bersamaan. Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya kami berkumpul kembali dan melanjutkan perjalanan setelah tenaga mulai terkumpul sedikit demi sedikit.
Pos 4 Jalur pendakian Latimojong via angin angin


Tim akhwat


Hari ini, kami harus sampai di pos 5 dan mendirikan tenda  sebelum gelap membungkus. Pukul 16.44 kami bertolak meninggalkan pos 4, kembali menyusuri hutan lumut, naik turun pegunungan dan melewati hutan terbuka dengan jurang yang menganga di sebelah kiri.

Di depan sana Bang riki dan Chua kembali berseru "Semangat! Pos 5 ... Puncak ..." tapi seringkali kami sudah tidak percaya dengan teriakan 10 menit lagi puncak! Sebab saya dan Rindy seringkali tertipu oleh guyonan mereka.

Setelah hampir satu jam berjalan, sebuah triangulasi kembali menyambut kami, berdiri gagah di atas bukit kecil.

Puncak Pokahpinjang 2900 mdpl 

Saat tiba, warna jingga sedang menampakkan cahayanya, membuat kami melupakan lelah dan terus bergantian mengabadikan potret diri. Tepat sebelum matahari menyembunyikan keindahannya kami berempat--Saya,Rindy,Chua, dan Bang Riki tiba di pos 5 puncak kedua.

Menuju pos 5

Sunset di Pos 5 Puncak Pokahpinjang


Sepi, tak ada pendaki lain yang camp di sini. Hanya rombongan kami yang terdiri dari tiga tenda.

Di tengah keheningan malam, kami harus melawan dingin diluar tenda untuk memasak. Sebenarnya tidur saat itu bisa jadi pilihan terbaik tapi ada perut yang meminta haknya untuk diisi. Setelah makan malam selesai barulah kembali ke tenda masing masing untuk istirahat. Tidak ada obrolan panjang,

Day 5

Kamis, 04 April 2019

Pagi menyapa, Kami keluar tenda dan mengedarkan pandangan kesekitar. Di bawah sana nampak kota Enrekang namun sesekali tertutup awan. Kami serasa berada di atas awan padahal ini baru puncak kedua.

Setelah puas menikmati pemandangan, kami kembali berbagi tugas, sebagian mengambil air, sebagiannya lagi memasak untuk sarapan. Perut wajib diisi sebelum melanjutkan perjalanan.

Setelah urusan perut selesai, kami kembali packing. Foto bersama di triangulasi lalu start. 
Tim akhwat pendakian bersama 5 puncak

Puncak kedua : Pokahpinjang 


Trekking pagi pagi sekali selalu menjadi wacana, kenyataannya selalu trekking jam 9 pagi.

Jarak dari puncak pokahpinjang ke pos 6 kami tempuh selama satu jam perjalanan. Tepat pukul 10.34 Wita kami berempat (saya, Rindy, Chua', dan Bang Riki) tiba lebih awal, sedangkan teman yang lain masih dibelakang. Entah tertinggal berapa kilometer dari kami.


Pos 6

Istirahat di pos 6


Trekking di Hutan terbuka membuat kami lebih leluasa menikmati pemandangan hijau. 

Karena diri sudah dikuasai oleh ego yang tinggi, kami melanjutkan perjalanan padahal teman teman yang lain belum sampai di pos 6.

Tubuh sudah mulai menggigil padahal masih siang, lagi-lagi berdiam diri menunggu selalu membuat kami mengantuk dan bawaannya pengen tidur aja. Dari pada tidur dijalur, mending lanjut trekking.

Kami terus berjalan di bibir jurang, hutan lebat dan terbuka bergantian menemani perjalanan kami. Hingga tiga jam berikutnya kami sampai di puncak ke tiga

Puncak Buntu Tillok 3037 mdpl

Puncak ketiga : Buntu tillok

Kami berempat menghabiskan beberapa menit di puncak ini, beristirahat memulihkan tenaga yang terkuras selama di jalur pendakian tadi. Beberapa puncak mulai terlihat, dan kata Bang Riki "Puncak yang paling tinggi di atas sana adalah puncak Latimojong" Setidaknya, dibenak saya sudah ada gambaran bahwa puncak terakhir masih sejauh itu. Entah bisa sampai sebelum malam atau kami terpaksa masih harus nginap di jalur.

Belum ada tanda tanda bahwa teman-teman yang lain sudah mendekat, berkali kali Leader berteriak tapi tidak ada tanggapan. Salahnya, tim kami tidak ada yang bawa HT sehingga tidak ada komunikasi.

Karena bosan menunggu, kami melanjutkan trekking menuju pos selanjutnya, jarak antara puncak buntu tillok ke pos 7 kami tempuh sekitar satu jam perjalanan.
Pos 7 jalur pendakian latimojong

Menuju pos 7

Tanaman liar yang saya temukan di jalur



Sebenarnya di pos ini juga terdapat area camp tapi sumber air sangat jauh. Karena masih siang kami terus berjalan berkejaran dengan waktu berharap bisa sampai puncak sebelum malam.

Saya dan Rindy mengikut saja di belakang Chua' tanpa tahu kabar teman-teman yang ada di belakang. Sebenarnya cukup dilema, antara mau menunggu mereka atau berjalan terus mengikuti leader.

Selama di jalur pendakian, saya terus merutuki diri, mengapa saya seegois ini? Tidak bisa sabar lebih lama menunggu tim yang lain?

Sesekali saya mengeluarkan handphone dari daypack untuk memotret tumbuhan dan bunga bunga langka yang jarang bahkan tidak pernah saya temui sebelumnya.

Gerimis perlahan mulai turun, untungnya saya dan Rindy sudah menyiapkan raincoat dibagian atas carrier sehingga gampang ditarik saat hujan.

Hembusan angin membuat jas hujan yang kami gunakan berkelepak kelepak. Begitu berisik sepanjang jalur.

"Gak papalah ya...hitung hitung sebagai pelindung supaya kita gak masuk angin." selorohku dibelakang Rindy.

Tepat pukul 16.33 Wita kami menginjakkan kaki di puncak keempat

Puncak Tinabang 3220 mdpl

Kami tidak berhenti lama di sini karena khawatir terjebak hujan, begitu selesai mengambil gambar kami langsung melanjutkan perjalanan.

Berada di puncak tinabang serasa lagi di atas awan. Di belakang kami, gumpalan awal tebal seperti lautan yang membungkus kota Enrekang. Tapi pemandangan itu segera hilang dari penglihatan kami tatkala memasuki hutan belantara.
Di atas awan

Puncak ke empat : Tinabang



Jalur trekking kali ini lebih banyak bebatuan dan kami harus hati hati saat memijaknya. Kerongkongan sudah mulai kering sementara persiapan air minum sudah nyaris habis. Di tumbler saya hanya tersisa sekitar 100ml, saya teguk sedikit kemudian selebihnya kuserahkan pada Rindy yang sedari tadi sudah menahan haus karena air minumnya sudah habis.

Kata Bang Riki kita harus sampai puncak malam ini, jika tidak kita bisa mati kehausan di jalur. Karena satu satunya sumber air sekarang adalah telaga yang ada di dekat puncak.

Kami mengeluarkan headlamp dari carrier karena hari sudah hampir gelap. Saat kami berada di sisi tebing tiba-tiba terdengar suara teriakan dari bawah sana.

Ternyata itu adalah Aldi yang minta bantuan. Dia tidak punya headlamp sehingga kesusahan melewati jalur, entah bagaimana, Aldi juga meninggalkan tim yang masih ada di belakang.

Jadilah kami berlima, berjalan di gelapnya malam terus menyusuri hutan. Bersyukurnya saat mendekati puncak terakhir pepohonan tidak begitu rimbun.

Rindy nyaris kehabisan tenaga, dia sudah tidak sanggup berjalan, juga sudah mulai gemetaran tapi Bang Riki selalu meyakinkan kami untuk tetap bertahan, "sedikit lagi puncak." katanya.

Dari kejauhan kami mendengar suara pendaki lain, semakin dekat suara itu semakin jelas. Dengan nafas yang tidak teratur kami berjalan menuju sumber suara tersebut. Ternyata benar kami sudah sampai di puncak.

Puncak Latimojong/Rantemario 3478 mdpl


Puncak ke 5 : Latimojong/Rantemario


AtaP Sulawesi



Kami berlari menuju triangulasi, memeluknya sambil menangis sesegukan. Begitu terharu karena kami bisa sampai puncak setelah lima hari perjalanan. Kulihat jam di ponsel, sudah pukul 19.01 Wita.

Aldi dan Bang Riki segera meminta tolong kepada pendaki yang camp di puncak agar sekiranya sudi memberi kami air walau hanya seteguk karena kerongkongan kami benar-benar sudah kering. Juga meminta tumpangan tenda sebentar sekali karena Rindy sudah menggigil hebat, sepertinya terserang gejala hypotermia.

Suasana menjadi tegang ... Kami berbagi tugas, Chua memasang tenda sedangkan Bang Riki masak air untuk Rindy, saya dan aldi berusaha membuat Rindy agar tidak tertidur dan terus bergerak.

Alhamdulillahnya, Semua bisa dilewati. Setelah tenda siap. Kami kembali dan mengucap terima kasih kepada rombongan pendaki yang sudah membantu kami.

Di puncak, hujan gerimis disertai angin kencang tiada hentinya menerpa tenda kami. Suhu yang entah berapa derajat celcius membuat saya sulit tidur karena kedinginan padahal jaket, kaos tangan, dan jilbab sudah double. Tapi dingin tetap saja masih menyergap tubuh.

Saya selalu membenci malam ketika di gunung, rasanya malam yang kulalui teramat panjang, belum lagi jika susah tidur. 

Kami melewati malam di puncak tanpa makan malam karena logistik ada sama tim yang lain sedangkan mereka tidak bisa menembus puncak malam itu. Kemungkinan mereka Camp di jalur pendakian.

Day 6

Jum,at 05 April 2019

Hangat mentari pagi mulai menyambut. Di luar sana banyak pendaki yang sudah mulai berdatangan. Begitu riuh saat berfoto foto di atas triangulasi. Katanya mereka rombongan dari berbagai kota yang sedang melakukan pendakian ke puncak Latimojong, jumlahnya sekitar 40 an orang.

Sekitar jam 08.12, Niswah, Indah dan Mizwar tiba di puncak. Tim akhwat saling berpelukan, terharu, bisa sampai puncak Latimojong setelah beberapa malam di jalur merah.

Rasa bersalah kembali menyerangku. Merasa egois karena meninggalkan teman teman di jalur pendakian.

Siang hari, dua orang lainnya menyusul. Akhirnya kami bisa berkumpul lagi di puncak. Saya pikir hari itu akan kembali dan turun dari puncak, tapi leader memutuskan bahwa kami akan menginap satu malam lagi di puncak.

Sunyi, sepi, hanya rombongan kami yang camp di puncak, tidak ada pendaki lain. Dingin kembali menyerang, rasa rasanya suhu di puncak rantemario sudah minus. Semua pakaian serba double bahkan teman akhwat ada yang jaketnya sampai dua lapis ditambah lagi dengan sleeping bag dan katanya dinginnya masih terasa.

Kami menikmati malam di puncak sambil sesekali saling berbagi pengalaman dan cara merawat perlengkapan mendaki sesuai standar. Saya lebih banyak mendengarkan saja sebab belum punya ilmu dan pengalaman yang bisa saya bagikan ke teman yang lain.


Day 7

Sabtu, 06 April 2019

Pagi itu, puncak seolah menjadi milik kami. Tak ada pendaki lain sehingga kami bebas berfoto ria dimana saja tanpa perlu antri seperti hari sebelumnya.

Setelah semua selesai, kami memutuskan untuk turun lewat jalur umum Desa Karangan. 

Bedanya jalur ini dengan jalur merah yang kemarin kami lalui adalah jalur karangan lebih terbuka karena memang jalur ini yang sering dilewati oleh pendaki. Tidak perlu takut kesasar karena jalurnya sangat jelas dan tidak bercabang. 

Diri sudah tidak sabar ingin sampai di kaki gunung, Desa terakhir sehingga lagi lagi kami berlomba turun, tanpa memperdulikan teman teman yang dibelakang.

Jarak tempuhnya memang tak sejauh jalur merah, tapi jalurnya naudzubillahimindzalik, dari pos tiga ke pos dua tingkat kemiringan jalurnya 90%, kami hanya mengandalkan tali rotan karena tidak ada akar pohon yang bisa dijadikan pijakan. 

Meski begitu, kami bisa melewatinya dengan selamat. 


Jangan lupa bawa turun sampahmu


Ketika sampai di pos 2, ada sungai yang begitu jernih sehingga tiga orang teman ikhwan langsung nyemplung dan menyuruh kami turun duluan.

Karena malas menunggu, sayapun akhirnya mengikuti arahannya, berjalan sendiri di tengah hutan meski sesekali muncul rasa takut dan khawatir. Takut jika seandainya ada mahluk halus yang menyesatkan saya di jalur.

Di siang bolong, saya berhasil tiba di perkampungan warga. Buru buru mencari masjid supaya bisa numpang mandi karna sudah seminggu badan ini tidak pernah diguyur air.

Dan ini adalah rekor pertama, tidak mandi selama seminggu. Wkwk

Meski sudah bosan, saya dan teman teman yang sudah sampai di perkampungan tetap harus menunggu tiga orang lainnya yang malam itu lagi lagi harus bermalam di jalur karena salah satu diantaranya memang tidak bisa trekking malam.

Untungnya ada warga yang menawarkan kami menginap di rumahnya, dan tanpa ditawari dua kali kami langsung mengiyakan. Mengikuti langkah pemilik rumah yang mengantarkan kami ke sebuah rumah panggung yang terletak di tengah tengah kampung.

Day 8

Ahad, 07 April 2019

Akhirnya yang ditunggu pun tiba, mereka yang semalam nginap di jalur sudah sampai. Dan sekaraang tugas Bang Embun yang mengkomfirmasi sopir jeep bahwa kami sudah siap di jemput. Tapi nihil telponnya tidak tersambung dan kami harus menunggu hingga sore.

Beberapa teman sudah mulai khawatir karena senin besok mereka sudah harus masuk kerja. Sedangkan saya yang sudah terikat dengan kerjaan apapun ya santai aja, terkadang disitulah saya menemukan salah satu manfaat resign, bisa liburan tanpa khawatir dengan kerjaan kantor. hehe

Jeep datang sore hari, dan kami langsung balik ke Baraka, tempat kami memarkir kendaraan satu pekan yang lalu. Mudah mudahan motor kami aman.

Semua teman terburu buru mau pulang tanpa peduli kalau hari itu sudah tengah malam. Tetap tancap gas meninggalkan kota massenrempulu di tengah kegelapan.

Kami berangkat dari Enrekang pukul 23.50 Wita dan tiba pagi hari di Makassar pada hari senin 08 April 2019

Perjalanan panjang telah usai dan selepas ini akan banyak cerita dan rindu bersama mereka.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review buku Bob Sadino : Mereka bilang saya gila!

Temu yang menjadi Candu

Corn Peeling